Cerpen: TAngan Untuk Bapak (Guru)

Tangan Untuk Bapak (Guru)

Oleh: Linda Puspita

Brakk!

Tampak seorang lelaki paruh baya menyemburkan air dari mulutnya. Celana abu-abu yang dikenakannya kini berwarna hitam di bagian paha.

Ono opo to, Ndok?” tegurnya pada gadis muda yang berjalan ke arahnya seraya meletak koran di atas meja ,” Muleh ngajar kok, yo ngono iku. Rene,cerito karo bapak!”

Gadis berambut sebahu itu  duduk, dan merebahkan kepala di pundak ayahnya. Meski sudah berumur 23 tahun, gadis yang kerap di panggil Gege masih saja bersikap seperti 19 tahun silam. Walau begitu, Rudi—ayahnya—tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mungkin karena Gege adalah puteri semata wayangnya. Sejak ditinggal sang istri, hanya gadis manja itulah harapannya.

“Gini loh, Pak. Gege ditugasin ngajar di SD terpencil di Lampung, Pak,” jelas Gege melipat wajahnya.

“Loh bagus itu, Ndok. Itu tandane pihak sekolah percoyo karo kemampuanmu.” Senyum indah terukir di wajah yang mulai keriput itu.

“Bapak ki piye to. Kok malah dibilang bagus. Nyebutin namanya aja, udah kebayang tuh, gimana kotornya tempat itu, atau … pasti sempit deh, terus bakal susah pakai jaringan internet, dan satu lagi, di sana anaknya pasti nakal-nakal, ihhh …!”

Sementara Pak Rudi hanya tersenyum mendengar ucapan anaknya yang lebih tepat seperti pidato saat upacara. Perlahan dia menggelengkan kepalanya.     
         
“Bapak ini kenapa to, kok  malah mesam-mesem gitu?”

“Kamu itu loh, Ndok. Lucu. Hehehe …. Bapak mau tanya, tujuan kamu jadi guru itu untuk apa?”

Gege tak langsung menjawab. Tiba-tiba suaranya seperti ada yang mengikat di kerongkongan. Alisnya mengernyit. Gege seperti merasakan ada hal yang tidak beres keluar dari mulut sang ayah.

“Ya …, karena mau menjadi guru,lah, Pak.  Biar bisa berbagi, mencerdaskan anak negeri,” jawab Gege ragu, tapi tetap gaya sok dewasanya terlihat begitu jelas.

“Bapak kasih tahu, ya. Sebagai seorang guru itu tidak boleh pilih-pilih dalam berbagi ilmu, enggak cuma guru, semua orang pun harus begitu. Karena mereka memiliki hak yang sama, yaitu memperoleh pendidikan. Kalau saja boleh memilih, mereka pun endak mau lahir dalam keadaan seperti itu. Ngerti, kan, Nduk?” tutur Rudi seraya membelai rambut anaknya. Lembut. Penuh kasih sayang.

Gadis itu terdiam. Seperti ada yang menekan dadanya. Ucapan ayahnya menjelma tamparan yang menyadarkannya tentang sebuah tanggung jawab yang harus dijaganya. Perlahan, Gege pun tersenyum dan melingkarkan tangannya di tubuh pria yang telah membesarkannya sendiri setelah ibunya meninggal dua hari setelah melahirkan.
********
.
Hari pertama Gege menginjakkan kaki di MI Al Ashror, terasa biasa saja. Meski dirinya tidak begitu nyaman dengan  keadaan di sana. Dirinya langsung ditugasi mengajar Matematika di kelas 2A. Ruangan yang lumayan tenang, dengan 10 siswi dan 15 siswa. Saat konsentrasi semua murid tertuju pada lembaran putih dengan angka-angka di atas meja masing-masing, ada satu anak yang terlihat beda. Gege terus memperhatikan tiap gerakannya, sorot mata yang selalu terlempar ke luar jendela.

Lima menit kemudian, Gege dikagetkan dengan suara melengking, tapi tidak cempreng.

“Bu, saya sudah selesai,” ujarnya, mengangkat kertas putih berisi jawaban yang ada di tangannya.

“Kumpulkan ke depan, ya!”

Anak laki-laki itu berjalan dengan sangat cepat, menuju meja guru. Membuat mata seisi kelas menuju ke arahnya. Bagaimana tidak, baru saja 30 menit, dia sudah menyelesaikan 20 nomor soal Matematika. Diletakkan kertas itu tepat di ujung meja guru.

“Bu, apa boleh saya pulang sekarang?”

Sontak Gege terkejut mendengarnya. Waktu  belajar masih 30 menit lagi. Namun, memang sudah tidak ada lagi tugas, karena yang lain pun masih kesulitan mengerjakan soal. Wajah lugu itu terlihat begitu mengharapkan kata iya dari guru barunya itu.

“Hmmm, baiklah, karena kamu sudah selesai, kamu boleh pulang,” sahut guru berwajah oriental itu.

Bocah itu berlari ke bangkunya untuk mengambil tas warna biru yang sudah memudar. Tanpa menunggu lama, dia pun pergi. Saat di depan pintu, langkahnya terhenti. Dia berbalik. Tersenyum.

“Terima kasih, Bu Guru cantik …,” serunya dengan wajah penuh kebahagiaan seraya melambaikan tangan.

Refleks, gurunya membalas lambaian itu, dan membalas senyumannya. Meski sebenarnya semua begitu aneh. Sikap anak itu …., entahlah. Pandangan Gege mengantarkan anak itu hingga tubuhnya hilang di tikungan koridor sekolah.
***********

Pagi itu sesuasana sekolah begitu sepi. Para siswa telah duduk tenang di bangku kelasnya masing-masing. Kali ini Gege mendapat jadwal mengajar di kelas 2C, yang terletak satu kelas dari kelas 2A. Siswa di kelas ini tampak begitu ramai dan kurang memperhatikan pejelasan dari guru. Seperti saat guru berambut sebahu itu tegah menerangkan, hanya dua atau tiga anak saja yang fokus, sisanya asyik bermain. Adanya yang sibuk melipat kertas hingga menjadi sebuah pesawat,  yang kemudian dia terbangkan, dan mengenai teman sebelahnya, hingga akhirnya mereka saling oper. Di pojok kanan, ada anak perempuan yang asyik bermain BP, membuat rumah dengan menyusun pensil warnanya hingga terbentuk sebuah persegi yang dia anggap sebagai ruangan kamar dan sebagainya. Ada juga yang sekedar ngobrol dengan teman sebangkunya. Saat-saat sepertinya inilah yang menjadi sebuah tantangan bagi semua guru, termasuk Gege untuk terus bersabar, dan berpikir keras mencari solusi agar mereka mau bersemangat dalam belajar.

“Anak-anak …! Coba perhatikan sini sebentar ya, mainnya nanti lagi. Kan ada waktunya sendiri.” Gege berdiri di dekat meja paling depan di sebelah kanan.

Namun, Gege akhirnya hanya menghela napas berat. Berusaha untuk menahan emosi, karena mereka tidak mau mendengarkan. Mau bersikap tegas, takut dikira galak, dan sebagainya, dan akhirnya sebuah teguran dari wali murid datang. Gadis itu merasa serba salah, dan kembali ketempat duduknya. Tiba-tiba dia teringat dengan suasana kelas yang dimasuki sebelumnya. Ya, kelas 2A, terutama pada salah satu bocah yang sangat misterius. Teringat ucapan salah satu siswinya di kelas itu kemarin,  Gege langsug melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan bergegas keluar setelah izin dengan siswanya untuk ke kamar kecil. Langkahnya terayun begitu cepat menelusuri koridor sekolah. Berharap agar tidak ketinggalan momen itu.

Deg!

Hatinya serasa turut merasakan perih yang dialami bocah dengan tubuh mungil itu. Dari kaca jendela Gege menyaksikan kepasrahan seorang anak memberikan telapak tangannya yang putih untuk menerima pukulan penggaris kayu dari seorang yang dia panggil Pak Guru. Wajah itu sesekali meringis menahan sakit.

“Edo! Mau sampai kapan kamu seperti ini! Tidak bisakah, kamu datang tepat waktu seperti yang lain?” tegas Pak Guru yang duduk di depannya.

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa,” jawab Edo dengan wajah tertunduk, “Edo enggak apa-apa, Bapak mukul tangan  Edo, yang penting Edo masih boleh ikut pelajarann Bapak, meski ketinggalan,” lanjutnya dengan sedikit mengulas senyum.

“Kamu itu, ya! Bapak juga bosan terus-terusan mukul kamu,” ucapnya dan menghela napas, “ya sudah, sana duduk!”

“Terima kasih, Pak.” Edo menganggukkan kepala dan berlalu menuju bangkunya di bagian paling belakang. Setelah duduk, dengan cekatan dia mengeluarkan buku dan pensilnya, lalu mencatat apa yang tertera di papan tulis.

Sementara di luar sana, ada hati yang merasakan luka, dan dipenuhi beribu pertanyaan di benaknya. Setelah menyeka air mata, guru baru itu kembali ke kelasnya, dan jam istirahat pun tiba. Seluruh murid berhamburan keluar kelas. Sebagian dari mereka menuju kantin untuk membeli jajanan, ada juga yang duduk di bawah pohon bertukar cerita dengan temannya, pun ada yang bermain kejar-kejaran dengan tawa yang begitu renyah.


Namun, ada satu anak yang berbeda. Dia yang selalu berusaha menyelesaikan tugas dengan cepat agar bisa pulang lebih dulu. Duduk di dalam kelas mencatat materi dari buku pelajaran milik temannya, untuk dipelajari di rumah, karena tidak mampu membelinya.

To be continue ...


Jangan lupa baca juga
1. Rara ...?
2. Tragedi Tanggal 1
3. Tak Ada Yang Sempurna

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISTRIKU KAWIN LAGI Part-3

ISTRIKU KAWIN LAGI part 4