RARA ...?

RARA …?

Oleh: Linda Puspita S.

“Kak, aku ikut, ya?” pinta Rara setengah merengek, “please ….” Rara melipat wajahnya dan memajukan bibirnya yang merah.

Hujan petir berlomba menghantam bumi, detak jantung Dian berdetak begitu kencang, sesak menghimpit dadanya. Seakan petir menyambar dirinya, saat Rara memeluk kakinya yang akan melangkah keluar pintu, sementara Dian menyadari tatapan tajam Anton jatuh ke arah Rara, lalu dilempar ke arahnya, hingga membawanya pada kebimbangan.

“Rara …, dengerin kakak, ya.” Dian menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, “Rara mau enggak, jadi anak baik?”

Rara yang masih menatap lekat wajah Dian, dan tangannya tetap memeluk erat kakinya, mengangguk polos.

“Rara sayang kakak? Rara mau, kan, nurut sama kakak?” tanya Dian seraya memegang kedua pundak Rara, “malam  ini, Rara jangan ikut kakak dulu, ya!” pinta Dian dengan suara berat dan sedikit tersendat karena menahan tangis, menatap wajah lucu gadis berusia 6 tahun itu memancarkan cahaya kekecewaan.

Rara bergeming, hanya anggukan pelan yang dia berikan. Perlahan dekapan tangannya mengendur, lalu terlepas. Dian pun pergi setelah mengecup kening Rara. Sementara tatapan Rara tetap mengantar kepergiannya sampai Dian dan Anton masuk ke dalam mobil, dan saat itu setetes air jatuh dari pelupuk matanya.

                     *****

Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Dian tampak termenung. Pikirannya melayang. Wajah kecewa gadis kecil itu terus menari di matanya. Memanggil namanya. Maafin kakak, Sayang.

Sssiiiittttzzzz!!!

 Dian tersentak, tubuhnya terlempar ke depan.  Jantungnya berdegup kencang seiring dengan napasnya yang tak beraturan.

“Ton! Kamu apa-apaan, sih! Kamu mau aku mati jantungan!?” bentak Dian. Tangannya mengelus-elus dadanya.

“Kamu yang kenapa?” Anton balik membentak, seraya mematikan mesin mobil, “kamu tuh, lagi jalan sama aku, tapi pikiran kamu enggak di sini, nyadar enggak sih, kamu!” Wajah Anton berubah merah. Bola matanya membulat besar memandangnya.

Dian tak bisa berkata apa-apa, karena tuduhan Anton semua benar. pandangan matanya terjatuh ke arah kakinya, tidak sanggup menatap sorot mata Anton yang begitu menusuk dadanya. Diam-diam jemarinya meraih tangan Anton, dan menggemgamnya erat. Namun sikap Anton tetap dingin, dia lebih memilih melihat ke arah jalan yang basah karena rintik hujan sisa tadi pagi. Lalu lalang kendaraan tak henti melintas. Riuh suara kendaran seakan berlomba dengan suara anak-anak kampung yang tengah bermain kejar-kejaran.

“Ton, maafin aku. A-aku … aku khawatir dengan Rara,” ujar Dian lirih.

“Aku ngerti kamu sayang sama Rara, tapi enggak segitunya juga, kan? Lagian di rumah, kan, ada ibumu, jadi kamu enggak perlu khawatir!” telunjuknya terangkat tepat di wajah Dian.

“Tapi … aku sayang banget sama Rara. Aku takut dia kenapa-kenapa. Apalagi tadi, aku lihat dari matanya, dia sangat kecewa dengan kita. Kamu juga lihat itu, kan, Ton?” Dian menarik tangan Anton. Menggoyang-goyangkan tubuh Anton.

Anton tak menjawab sedikit pun, kemarahan benar-benar telah membakar hati Anton. Kedua rahangnya saling beradu, hingga mengeluarkan suara, dan kedua ujung alisnya pun hampir saja menyatu.

“Ton, kamu denger aku enggak, sih!”

“Dian!” Anton menarik tangannya dengan cepat dari genggaman Dian, “cukup! Aku sudah cukup muak dengan sikap kamu yang selalu mementingkan Rara. Enggak sedikit pun, kamu menghargai perasaanku! Dia itu adik kamu, Dian! Adik kamu! Bukan anak kamu!” Anton membuang muka.  Mengambil kotak kecil berwarna putih dari saku kemejanya. Rokok starmild. Kemudian terdengar suara petikan korek api, lalu asap putih mengepul menutupi sebagian wajahnya.

Hati Dian betul-betul hancur saat mendengar perkataan Anton, seperti petir datang menyambarnya. Hujan kembali turun mengguyur bumi.

“Dian ..., lebih baik sekarang kamu turun!” pinta Anton lirih tapi tegas.

“Hee …,” Dian tak percaya.

“Iya … kita enggak jadi nonton.”

“Iya … tapi kenapa?” tanya Dian tidak percaya, “aku udah enggak apa-apa, kok.”

“Buat apa kita jalan, hati kamu juga enggak sama aku, tapi sama Rara! Dian …,” ujar Anton menarik napas panjang, “sekarang kamu turun!” tukas Anton tanpa memperdulikan reaksi Dian.

“Maksud kamu, aku harus turun dari mobil?”

“Iya, maafin aku Dian. Aku tidak bisa lanjutin hubungan kita.”

Air mata Dian menetes, suaranya terhenti di kerongkongan. Tatapan matanya sayu memandang wajah Anton yang sama sekali tak ingin menatapnya. Sungguh tak pernah disangka, hubungannya berakhir dengan cara seperti ini. Dengan hati yang terluka Dian turun dari mobil Anton.

 ********

Seakan alam pun, turut menghukumnya. Hujan lebat kembali mengguyur tubuh mungilnya. Dia tak tahu harus ke mana kaki melangkah, sedang dirinya tak lagi peduli akan hal itu. Berjalan tanpa alat peneduh apa pun, dingin menghakimi dirinya. Tangan halus Rara mendekap tubuhnya sendiri. Kakinya gemetar, dia tersungkur ke tanah yang tergenang air hujan, “Aku memang bodoh, aku jahat! Aku jahat!” teriak Dian sambil memukul tanah yang tergenang. Air matanya bercucuran, menyatu bersama air percikan kubangan tadi.

“Aku benci diriku sendiri! Aku benci …!”

Dian mencoba bangkit. Dia berjalan tergopoh-gopoh. Menelusuri jalanan yang sepi, hingga akhirnya sebuah angkutan umum berhenti menghampirinya. Dengan hati semangat, Dian dengan cepat naik kedalam mobil angkutan tersebut.

Dian berdiri di halaman rumahnya. Menatap tajam pintu berwarna cokelat tua dengan dua pot bunga lidah buaya di samping kanan dan kiri pintu tersebut. Semua tampak rapih, tidak seperti hatiku dan hati Rara saat ini, dan mungkin hari lalu.

Rara tumbuh tanpa pernah mengetahui siapa ibunya. Sejak kecil hanya nenek dan kakaknya yang selalu ada di dekatnya. Dian merasa dengan mencukupi semua kebutuhannya, dia akan bahagia. Tanpa pernah berpikir akan perasaan dan kebutuhan batinnya, seperti halnya mereka yang selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Hingga peristiwa itu menyadarkannya. Mungkin bibir bisa saja berbohong, tetapi hati … siapa yang tahu.

Braakkk ….

Dian berlari mendobrak pintu dalam keadaan tubuh yang basah kuyup. Langkahnya sungguh tak terarah.

“Rara …! Rara …! Kamu di mana?”

Dian menuju ruang tengah tempat biasanya Rara bermain piano dengannya, tetapi tempat itu kini kosong, tidak ada lagi jari-jari mungil yang lincah menari di atas anak-anak hitam putih piano. Pikirannya begitu kalut.

“Rara … Ra … Rara!” Dian berlari ke halaman belakang rumahnya, hanya ada beberapa burung yang masih dalam sangkarnya, tiada lagi suara rengekkan bocah lucu dengan rambut hitam sebahu, yang berpadu indah dengan warna putih kulitnya, meminta untuk menerbangkannya.

Tubuhnya lemas. Dian menyender pada daun pintu dapur. Dian melihat ibunya datang dengan pandangan sayu.

“Kamu kenapa, Dian? Bukannya tadi kamu pergi dengan Anton, terus kenapa baju kamu semua basah, Nak?”

“Ma, Rara mana, Ma? Kok, aku cari-cari enggak ada, dia Ma?” selorohnya tanpa menghiraukan pertanyaan dari ibunya.

“Oh … Rara. Ada apa? Rara ada tuh, di kamar ti ….”

“Terima kasih, Ma,” sahut Dian cepat memotong ucapan ibunya, Dian langsung berlari menuju kamar Rara.

Kreeekkk

Dian melihat tubuh kecil dengan senyum manis tengah tertidur pulas di kasur dengan seperai hello kitty kesukaannya. Dian menghampirinya, mengusap rambutnya lalu mencium kening dan kedua pipinya. Dipeluknya erat tubuh Rara, “Rara, maafin mama,” ucap Dian tersedu dibarengi dengan linangan air mata, “maafin mama, karena selama ini tidak mau mengakuimu sebagai anak di depan Anton dan orang lain, karena status ayahmu yang tidak jelas. Mama sadar, kamu tidak pantas menerima hukaman ini. Semua salah mama, Sayang. Maafin mama ….” Pelukan Dian semakin erat, seraya mengecup kening gadis kecil yang menjadi tabatan hatinya.

Selesai.

Hk, 25 September 2015

jangan lupa baca juga
1. Tragedi Tanggal 1
2. Tak Ada Yang Sempurna
3. Tangan Untuk Bapak (Guru)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISTRIKU KAWIN LAGI Part-3

ISTRIKU KAWIN LAGI part 4

Cerpen: TAngan Untuk Bapak (Guru)