Saat itu hari Jumat di minggu terakhir
bulan ramadan tahun 2014. Aku mendapat jatah libur, dan seperti
biasa, kuhabiskan waktu bersama teman-teman majlis TST, Negeri Beton.
Pengajian kecil selalu kami lakukan dengan penceramah seorang ustadz
yang segaja didatangkan oleh sebuah organisasi, untuk memberi siraman
rohani kepada kami--para pahlawan devisa.
"Lin ...!" teriak seorang ibu
yang kira-kira berumur 48 tahun. Dia berjalan menghampiriku dari
tangga naik sebelah kiri masjid.
"Iya, Bun." Aku yang tengah
membersihkan tempat yang baru dipakai buat pengajian segera menyahut
dan menoleh ke arah sumber suara.
Aku menjabat tangannya dan
cipika-cipiki. Kupersilakan ibu yang kerap kami panggil bunda, untuk
duduk di atas tikar yang telah tergelar sejak pagi tadi. Tepat di
samping bunda, aku mengambil posisi duduk, agar kami mudah untuk
berbincang-bincang mengenai topik apa saja.
"Dateng sama siapa, Bun?"
"Tuh, sama Ustadz Hasim,"
jawabnya sambil mengacungkan jari ke arah seorang lelaki memakai baju
koko putih, celana hitam, serta tak ketinggalan kopiah putih
bertengger di kepalanya. Lelaki yang tampak berusia 45 tahun,
berjalan menghampiri kami. Seulas senyum tampak jelas menyimpul sabit
di bibirnya, "kita nanti mau bagi-bagi snack buat anak-anak di
masjid buka puasa," sambungnya menjelaskan. Aku yang sedari tadi
memandang hentakkan langkah Ustadz Hasim, berbalik ke arah Bunda.
Menikmati wajah putihnya yang ke cina-cinaan. Cocok deh, dia dapat
suami orang Hong kong asli.
Terlihat Ratih sibuk merapikan ujung
tikar sebelah kanan. Disusul Hafsyah dengan sajadah di tangannya, dan
menggelarnya di atas tikar. Lalu mempersilakan Ustadz Hasim untuk
duduk di atas sajadah tersebut. Ustadz Hasim meletakkan tubuhnya di
sejadah, lalu mengangguk pelan, "Terima kasih," ujarnya.
Seulas senyum terlempar kepada Ratih dan Hafsyah yang telah duduk
satu meter di sebelah pak ustadz.
Mereka pun membalas dengan menggerakkan
kepala ke bawah sejenak, "Sama-sama Pak Ustadz."
Sementara beberapa jamaah pengajian
tadi duduk berbincang-bincang di tikar yang tergerai di pendopo ujung
dekat tangga naik ke taman burung. Entah apa yang mereka obrolkan,
hingga terkadang tawa mereka pun pecah dan cukup menggetarkan gendang
telingaku. Tak jarang aku turut menyumbang senyum karenanya.
Ada juga yang asyik berpoto ria di
kolam kecil--ada air mancur di tengahnya--yang berjarak kira-kira dua
meter dari pendopo. Tawa-tawa kecil yang disertai candaan mengiringi
setiap gerak-gerik mereka. Wajah ceria seperti tanpa beban terpancar.
Hanya di saat libur seperti inilah, kami merasa bebas dari segala
tekanan majikan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan. Impian dan
cita-cita, serta bayangan keluar yang tersenyum di seberang sana,
menjadi penguat bagi kami.
******
"Oh ya, tadi ustadz siapa yang
ngisi, Lin?" tanya bunda. Dia menepuk pelan pahaku.
"Tadi ada Ustadz Anwar yang isi
tausyiah. Tapi ... enggak lama, cuma satu jam, terus buru-buru pergi.
Mau lanjut tausyiah di Yun Long, katanya," jelasku panjang
lebar.
Tiba-tiba terdengar suara dari ujung
sebelah kanan.
"Bun ...!" teriak wanita
bertubuh gemuk, yang mengenakan gamis merah marun berpadu kerudung
putih melindungi auratnya, "nanti buka puasa bareng di sini,
kan!?" Tangannya begitu lincah memotong semangka merah, menjadi
segitiga kecil. Matanya sesekali melirik ke arah bunda.
"Iya, Bun. Ada banyak makanan,
nih. Hehehe," sambung Lina yang tengah menyusun lauk pauk serta
sayur di sekitar nasi berwarna kuning yang telah dibentuk seperti
gunung.
"Duh, maaf, Neng. Bunda mau
keliling ke masjid-masjid, terus ada undangan buka bersama di KJRI
(Konsulat Jenderal Republik Indonesia). Lain kali ya, Neng,"
papar bunda sembari tersenyum.
****
Setelah cukup berbincang-bincang dengan
para jamaah. Bunda dan Ustadz Hasim pergi ke sejumlah masjid yang ada
di Hong Kong, dan aku pun turut serta dengan mereka. Setengah jam
sudah kita berkeliling hingga akhirnya sampai di Masjid Amr, Wanchai.
Masjid terakhir yang kami kunjungi. Di sana kami bertemu dengan
sejumlah jamaah pengajian Halaqoh Senin yang kebetulan mendapat libur
hari Jumat. Di serambi masjid lantai bawah, kami berpoto ria bersama
pengurus masjid yang kita panggil Brother.
"Thank you, Sister. May Allah
repay all the kindness."
"Amin," koor dari semua yang
ada di sana.
****
Alhamdulillah. Semua acara berjalan
dengan lancar. Buka bersama yang sangat berbeda. Serasa berada di
kampung halaman. Karena semua yang hadir adalah orang Indonesia.
Mereka adalah para pejabat KJRI, pegawai bank Indonesia yang ada di
Hong Kong, media, dan beberapa tamu dari berbagai organisasi.
Makanan yang disediakan pun, khas Indonesia, ada tempe dan tahu
bacem, rendang, karedok, dan masih banyak lagi, aku tidak bisa
melihat semuanya. Aku hanya mengambil secukupnya. Karena sudah banyak
orang yang berdesakan menanti giliran di belakangku. Sungguh sebuah
berkah ramadan.
Detak jam telah menujukkan pukul
delapan malam. Itu tandanya aku harus segera pulang ke rumah majikan.
Aku berpamitan dengan bunda dan Umi Fatimah yang tengah menuangkan
sup buah ke mangkoknya. Dua laki-laki dari media koran suara, berdiri
di belakang umi, menunggu giliran untuk bisa menikmati sup buah. Di
meja ujung sebelah kiri, terlihat sejumlah tamu sedang asyik
menyantap makanan di depannya. Duh, sebenarnya aku belum mau pulang,
tapi apa daya, sebuah tanggung jawab telah memanggilku.
Dengan berat hati aku meninggalkan
sebuah kebersamaan. Tiba-tiba terdengar suara yang sudah tidak asing
lagi di pendengaranku.
"Lin ...! Tunggu bentar!"
Aku menghentikan langkah dan menoleh ke
belakang.
"Ada apa, Bun?" tanyaku saat
bunda telah berdiri tepat di depanku.
"Kamu pulang ke Yau Ma Tei, kan?"
"Iya, Bun. Memang kenapa?"
"Tolong anterin Ustadz Hasim, ya.
Temenin beliau beli oleh-oleh untuk sahabatnya, di Tample Street.
Bisa, kan?"
"Oh, bisa Bun. Kebetulan rumahku
dekat sana," jawabku tersenyum.
*******
Saya dan Ustadz Hasim berjalan
menerobos keramaian stasiun MTR Yau Ma Tei. Melewati eskalator.
Membicarakan topik yang tidak tahu asalnya. Hingga tiba pada
pertanyaanku, tentang oleh-oleh yang ingin dia beli.
"Ustadz, memangnya Pak Ustadz mau
beli apa? Di Mongkok justru lebih banyak barang bagus buat oleh-oleh,
murah-murah lagi, Pak, hehehe," ujarku. Sementara tanganku sibuk
membenarkan hijab coklatku.
"Soalnya, kata teman saya, barang
itu adanya cuma di sini." Pak Ustadz menoleh kekanan-kiri,
mengamati beberapa papan penunjuk arah. Mungkin takut nyasar.
"Apaan itu, Pak?" tanyaku
semakin penasaran.
Ustadz itu tidak langsung menjawab
pertanyaanku. Dia justru tersenyum dan mendekatkan kepalanya di
telingaku. Suara lirih muncul dari lingkaran bibirnya. Membuatku
membelalakkan kedua bola mataku. Membuat detak jantungku berhenti
sejenak.
"Saya mau cari boneka tiruan
barang milik perempuan," ujarnya tanpa ekspresi malu sedikit
pun.
Aku pun terpaku dalam diam. Ternyata
ustadz juga manusia.
HK, 26/9/15
Komentar
Posting Komentar