BUKAN PERMINTAAN HATI
BUKAN PERMINTAAN HATI
Sore itu, bendera warna kuning melambai-lambai di depan rumah Ahmad. Bocah yang baru-baru ini menjadi pusat perhatian di kampungnya. Pasalnya, dia telah memenangkan lomba 7 Juz Al-Quran tingkat SD sekabupaten, mewakili daerah tempat tinggalnya.
"Pak, Bapak …." Tangis Ahmad tak juga berhenti. Sesekali panggilan terhadap orang yang terbaring kaku di balik gundukkan tanah di depannya, dia sebut.
"Sudah, Nak. Relakan bapakmu pergi. Tugas kita sekarang mendoakannya. Agar bapak bahagia di sana," ujar Wirda menenangkan anaknya.
Saat itu Ahmad begitu terpuruk. Bapak yang selalu mengajarinya mengaji sudah tidak bisa lagi dia lihat untuk selamanya. Begitu pun Wirda istrinya. Harus kehilangan orang yang telah melengkapi hidupnya selama sembilan tahun. Tempat berbagi suka dan duka, juga menjadi pelita saat dia salah arah. Namun, kelihatannya Wirda lebih kuat dan mampu menyimpan kesedihan daripada putranya.
"Mad, sudah mau magrib, orang-orang juga sudah pada pulang. Lebih baik kita juga pulang, kita lanjut berdoa buat bapak di rumah saja, ya, Nak."
"Tapi, Bu …."
"Ya udah, ibu kasih waktu lima menit lagi. Ibu tunggu di gapura sana, ya."
Ahmad hanya mengangguk. Membiarkan ibu meninggalkan dirinya bersama makam sang ayah. Dia tidak peduli dengan tanah yang mengotori bajunya, dengan derai airmata dia memeluk gundukan tanah itu.
Tiba-tiba, di antara suara tokek dan jangkrik yang saling bersautan, samar-samar Ahmad mendengar suara lain dari arah sawah.
"Kasihan Ustadz Solihin. Meninggal dengan cara seperti itu."
"Iya, Zang. Kata Elang, enggak ada satu orang pun yang berani nolong Ustadz Solihin waktu kejadian itu kemarin."
"Emang siapa, sih, Pur, kok sampai sekarang enggak ada yang lapor polisi? Kaya yang sengaja ditutup-tutupin, gitu."
"Siapa lagi, Zang, kalau bukan preman pasar itu."
Suara itu semakin menjauh dan tak terdengar lagi. Ahmad berhenti menangis. Mencoba mencermati obrolan kedua orang yang dia tidak tahu siapa.
'Bapak ….'
***
Preman, ya, kata itu selalu terngiang di pikiran Ahmad hingga tidurnya tidak nyenyak. Gelisah. Api di hatinya terlalu besar berkobar untuk melupakan apa yang didengarnya petang itu.
Subuh tadi, Wirda meminta anaknya untuk tidak masuk sekolah dulu, karena khawatir putranya masih trauma dengan kejadian yang menimpa bapaknya.
"Enggak, Bu. Ahmad mau tetap berangkat sekolah!"
Lantang. Suara itu membuat ibunya tidak sanggup untuk berkata 'jangan'.
Memang, selama ini Ahmad selalu rajin ke sekolah meski dalam keadaan sakit sekali pun. Bocah berusia delapan tahun itu pernah bilang, "Bu, Ahmad enggak tahu kapan akan dipanggil sama Allah, jadi Ahmad enggak mau menyia-siakan kesempatan ini."
Membuat hati Wirda terenyuh juga bangga sebagai wanita yang telah melahirkannya.
'Pak, terima kasih, telah mendidik anak kita dengan baik.'
Dengan izin ibunya, Ahmad pergi ke sekolah. Dia melangkah dengan tatapan kosong, dan Wirda mencoba membuang kekhawatiran hatinya. Ahmad pasti baik-baik saja.
****
Berjualan sayur-mayur--hasil kebun sendiri--di pasar kini harus dilakukan wanita berusia 30 tahun itu sendiri. Begitu pun tugas suami, mencari rumput untuk kambing-kambing mereka, Wirda pula yang mengerjakan. Bermandikan peluh di bawah terik matahari, dari kebun satu ke kebun yang lain harus dia jalani.
Baru sehari, Wirda sudah merasa rindu. Saat Solihin pulang 'ngaret', dia pasti menggoda istrinya yang sedang masak di dapur, atau mencuci piring di emperan sumur, berdekatan dengan kandang di belakang rumah. Kala itu pipi Wirda memerah. Menundukkan kepala, tersenyum malu.
Setetes demi setetes embun di matanya jatuh. Situasi ini adalah hal terburuk dalam hidupnya. Ahmad-lah, satu-satunya pelita yang membuatnya mampu bertahan.
"Waalaikumsalam …!"
Refleks, Wirda menyahut salam. Sepertinya suara itu berasal dari depan rumah.
Alangkah terkejutnya, saat melihat dua orang polisi datang.
'Apakah pembunuh suamiku sudah tertangkap dan mereka ke sini untuk memberitahuku.'
"Selamat siang, Bu. Apakah benar ini rumah Ahmad?"
"Udah, Pak, kagak usah tanya, kelamaan! Ini, tuh, bener rumah bocah pembunuh itu, dan dia pasti ada di dalam!" Suara pria di belakang polisi, lantang. Membuat Wirda kebingungan.
"Maksud kamu apa, San?"
Tatapan penuh kebencian tampak jelas. Beberapa kali umpatan dia berikan untuk Ahmad. Tidak peduli ada polisi di sebelahnya.
"Kami harap, Bapak tenang!" tegur salah satu polisi itu, tegas. Dari seragamnya, diketahui bernama Yan Hendra.
Suasana menjadi tegang. Wirda geming di tempatnya. Matanya menatap tajam polisi dan San bergantian. Cemas. Berharap penjelasan dari dua orang berseragam itu segera.
"Maaf, Bu. Kami harus membawa anak Ibu ke Kantor Polisi, karena diduga telah membunuh saudara Jack."
Kala itu, seolah petir menyambar hati Wirda, menjadi berkeping-keping. Entah cobaan apalagi ini. Tubuhnya bergetar, lemas.
#Lin
HK, 050917
Bersambung dulu, ya ....

Komentar
Posting Komentar